Jatiwangi dikenal sebagai desa yang penuh hiruk pikuk. Ramainya sepeda motor, bisingnya gilingan padi, lalulalang roda-roda truk pengantar genteng dari pabrik, percakapan penjual dan pembeli, penumpang dan kondektur, peluit tukang parkir di persimpangan dan masih banyak hal menghasilkan suara bising lainnya. Pagi dimulai begitu cepat dan malam begitu panjang. Pagi sebelum matahari terbit orang-orang sudah ramai beraktivitas dan malam jauh setelah matahari terbenam, asap mobil truck besar menyelimuti. Hampir tak ada senyap di Jatiwangi. Tapi lain cerita ketika orang-orang yang sebelumnya tak terdengar mulai bersuara dengan caranya. Desa Jatiwangi menjadi desa dimana riuh dan senyap bertemu dan menyatu.
Rumah Tuli Jatiwangi berdiri sejak tahun 2016. Diawali dengan Fuji Abdul Ghani yang akrab di panggil Abi (51 tahun) yang mulai tergerak untuk belajar bahasa isyarat, yang kemudian mempertemukan Abi dengan teman-teman tunarungu. Dari sanalah mulai terbangun kelompok secara organik yang rutin melakukan kegiatan bersama tiap hari minggu. Rumah tuli jatiwangi semacam muara bagi tunarungu yang ingin berkumpul. Lalu dari keresahan yang selalu membayangi komunitas tunarungu yang cenderung negatif, Abi memutuskan untuk menginisiasi program-program yang bisa bermanfaat bagi teman-teman tunarungu.
Hadirnya Rumah Tuli Jatiwangi menjadikan tunarungu di Jatiwangi dan sekitar mulai ada dan bersuara. Masyarakat yang semula tak menghiraukan adanya kaum Tuli pun mulai merasakan hadirnya mereka. Menjadi "berbeda" bukan lagi menjadi hal yang tabu dan memalukan, justru menjadi kekuatannya tersendiri. Aktivitasnya pun mulai dilirik dan menjadi perhatian bagi banyak orang. Hal ini berdampak terhadap lingkungan masyarakat desa Jatiwangi, sehingga muncullah kesempatan-kesempatan yang lebih luas bagi Rumah Tuli Jatiwangi dan warga desa Jatiwangi. Itulah impian Jatiwangi, menjadikan desa yang ramah disabilitas.
Desa Jatiwangi membawa kebiasaan baru. Budaya berbahasa masyarakatnya yang lantang dan keras kemudian lebur dengan isyarat-isyarat yang disampaikan dengan sunyi. Deesa Jatiwangi dan Rumah Tuli Jatiwangi menjadi "deaf space" tersendiri bagi kaum tunarungu di sekitar, bahkan di Majalengka. Disana mereka dapat mengekspresikan diri dengan bebas, menjadi diri sendiri. Membuat peluang, berkolaborasi dan membuat hajat besar yang tentunya sama dengan manusia lainnya. Sedikit-sedikit Rumah Tuli Jatiwangi membawa Desa Jatiwangi menjadi Desa yang inklusi. Tidak membedakan dan memisahkan siapapun masyarakat yang ada didalamnya.
#ceritabudayadesaku #budayasaya #budayamaju
Негізгі бет CERITA BUDAYA DESAKU : DESA JATIWANGI
Пікірлер: 11