Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala
“Eh bapak sudah datang toh, gimana pak tadi? Dapat banyak ikan?”
“Syukurlah kalau dapat banyak”
“Bapak pasti capek ya? Sudah biar aku saja yang bereskan. Bapak istirahat di dalam”
Oh ya perkenalkan aku Ais, gadis kecil dengan sejuta mimpi. Aku tinggal di pulau kecil dengan laut biru dan debur ombak yang meliuk. Bapak bekerja sebagai nelayan dan hasil tangkapannya akan dijual, kalau ibu setiap harinya berjualan di Pasar.
Sewaktu waktu ketika bintang bintang dari kota turun untuk menerangi malam pendidikan, terkadang aku pun ikut bersinar dalam cahaya mereka.
Namun, ketika bintang bintang itu tidak turun. Aku hanya berjalan dalam gelap, menunggu cahaya memandu langkahku.
Tetapi itu semua tidak berlaku bagi Patih. Oh ya aku sampai lupa belum memperkenalkan mereka, aku memiliki dua teman yaitu Patih dan Linggar.
Dan Patih ini meskipun bintang bintang itu turun, ia memilih untuk tetap redup, ia tidak mau bercahaya seperti kami.
Aku bertanya tanya, mengapa ia seperti itu. Siapa sangka ia berujar “Aku pun ingin tapi kata Bapak aku harus menambang emas, karena ilmu saja tidak bisa mengisi perut. Jika itu titah Bapak, apalah dayaku”
Aku menentang hal itu, karena menurutku ilmu adalah peta yang membimbing kita melalui labirin kehidupan. Ketika kita mempelajari jalan dan belokan, kita akan pintar. Dan semakin sulit bagi siapa pun untuk menyesatkan kita.
Aku dan Linggar sebenarnya tau, Patih memiliki mimpi yang besar sebesar kapal yang memimpikan kota sebagai pelabuhan impian. Tetapi aku juga tau tempat itu penuh badai dan polusi. Berbeda dengan tanah ini, ketenangan dan udara segar akan memeluknya.
Berbeda dengan Patih yang sangat ingin berlabuh di kota. Linggar ini bagaikan pohon besar yang berakar kuat di tanah, enggan meninggalkan tanahnya meskipun angina kota melambai lambaikan tangannya. Ia ingin tetap disini, mengukir masa depan bagi Ibu dan juga Adik adiknya. Sementara Bapaknya masih mengarungi lautan yang entah kapan pulang.
Mimpiku sederhana, bagai perahu kecil yang mengarungi lautan luas. Meski aku hanyalah seorang anak perempuan, impianku menjadi nelayan bukanlah angan angan kosong. Aku ingin menjadi nelayan yang tak hanya menaklukan ombak, tetapi juga merawat lautan dengan cinta. Seperti Bapak yang selalu berlayar tanpa menyakiti samudera.
Sampai pada suatu hari manusia manusia raksasa itu datang menghancurkan semuanya, dengan membangun benteng benteng besar yang menakutkan bagi kami.
Dan pada akhirnya mimpi mimpi kami hilang, kami tidak bisa atau bahkan tidak akan pernah bisa.
Mereka mengotori, merusak, menodai, mengacaukan tempat kami. Tempat yang selama ini kami jaga, kami rawat, kami lestarikan. Dengan seenaknya mereka datang menghancurkan.
WAHAI MANUSIA MANUSIA RAKSASA jika kalian hanya datang dan merusak, hentikan dan pergi kalian dari sini.
Tempat yang dulunya adalah surga kini telah berubah menjadi neraka, di mana udara yang dahulu menyegarkan kini seperti racun yang menyengat, dan air yang dulu jernih kini layaknya lumpur yang kotor.
Apa lagi yang akan kalian lakukan kepada kami? Apakah masih ada yang tersisa untuk kami? Kami kini kosong, hanya menyisahkan setitik harapan untuk merebut kembali mimpi kami. Mimpi yang aku anggap seperti layer kapal yang mengarungi samudera.
Kembalikan mimpi mimpi kecil yang kita bangun!!! Kau rusak segalanya, kau hancurkan mimpi kami!!!
Sebesar apapun usaha kami, orang kecil seperti kami tidak pernah bisa melawan manusia manusia besar seperti kalian.
Tapi aku tidak mau kalah!! Tugasku disini adalah melawan dan memperjuangkan hak kami, kami berhak atas langit yang tenang, berhak menenun mimpi di atas tanah yang kami pijak.
Ini adalah tanah kami, jiwa kami tertanam disini. Dan tak akan ku biarkan manusia manusia itu merenggutnya tanpa perlawanan.
#JawaPosSMAAwards2024
#MonologJawaPosSMAAwards2024
Негізгі бет Jawa Pos SMA Awards 2024 - Monolog - SMA Negeri 3 Sidoarjo
Пікірлер