Peninggalan sejarah di desa brosot, kulon progo, yogyakarta.
Desa Brosot pada tahun 1815 sudah ramai dengan pemukiman penduduk. Baker menyebutkan bahwa Desa Brosot adalah desa yang makmur dengan penduduk yang sangat padat (Carey 2008:23-24; Velde 1847:48).
Sampai tahun 1841, wilayah Kabupaten Brosot dipimpin oleh seorang riya³ bernama Notorejo. Setelah tahun 1841, jabatan Riya Brosot kemudian diteruskan oleh putra Notorejo yang bernama Panji Jayengminarso. Ia kemudian menata ulang lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Brosot dengan menambah sistem keamanan di Desa Karang Kemuning (Brosot) dan pesanggrahan Karang Kemuning di tepi Sungai Progo untuk tempat wisata perahu (Saktimulya 2016:63-4). Pesanggrahan yang dibangun oleh Jayengminarso dapat dijelaskan dengan dua pendapat baik yang ia bangun dari awal maupun merehabilitasi bangunan yang sudah ada menjadi bentuk bangunan permanen.
Salah satu peristiwa penting dari penggunaan pesanggrahan Karang Kemuning adalah ketika Sultan Hamengkubuwono V sebelum tahun 1845 pernah menginap di pesanggrahan tersebut. Kunjungan penguasa Kesultanan Yogyakarta tersebut dalam rangka acara wisata perahu di Sungai Progo. Sultan Kelima Yogyakarta didampingi oleh permaisuri, Residen Yogyakarta dan Sri Paku Alam 2 menyeberangi Sungai Progo. Acara tersebut dimeriahkan oleh berbagai hiburan, seperti kesenian rakyat, pesta petasan, dan kembang api. Pada keesokan harinya, sultan kemudian berwisata ke pantai selatan. Acara berperahu menyeberangi Sungai Progo di atas dilakukan oleh Sultan Hamengkubuwono V sebagai ritual agar permaisurinya segera hamil dan melahirkan putra laki-laki. Hal tersebut benar-benar terwujud. Setelah wafatnya Sultan Hamengkubuwono V pada tahun 1855, permaisurinya melahirkan putra laki-laki.
Nama Kabupaten Karang Kemuning pada tahun 1877 diganti dengan nama 'Kabupaten Adikarto', namun sebutan bupatinya masih dengan sebutan 'Bupati Brosot' (Regent van Brosot) (Regerings Almanak 1884). Sampai tahun 1896, istilah Kabupaten Karang Kemuning juga masih digunakan dalam Regerings Almanak (1896) yang memiliki empat distrik seperti Galoer, Tawangardjo, Tawangsoko, dan Tawangkarto. Nama bupati yang disebut paling awal-Kabupaten Brosot adalah Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Sosrodigdojo (menjabat 1883-1896). Jika pada tahun 1877 pusat pemerintahan kabupaten dipindah dari Brosot ke Bendungan, maka K.R.T. Sosrodigdojo belum pernah menjalankan pemerintahannya di Brosot. Hal itu diperkuat dengan keterangan pada inskripsi makam K.R.T. Sosrodigdojo di Pedukuhan V Krembangan, Panjatan yang menyatakan bahwa Sosrodigdojo adalah 'bupati wedana distrik' di Adikarto." Keterangan ini dapat menjelaskan kembali bahwa bupati pertama Kabupaten Adikarto adalah K.R.T. Sosrodigdojo, bukan K.R.T. Wosodirjo seperti yang tertulis di Makam Sireap, Kokap.
Tionghua di Brosot
Pada tahun 1934 kehadiran etnis Tionghoa sangat terlihat sekali dalam dunia perdagangan di Brosot. Salah satunya adalah warung candu yang berada di utara rel kereta dan jalan raya Brosot (Topografischendienst in 1933-1934). Perdagangan candu hanya beroperasi dari jam 7 sampai jam 1 siang dan jam 4 sore sampai jam 9 malam. Khusus untuk permadatan hanya dapat dilakukan oleh pelanggan dari jam 7 pagi sampai jam 10.30 malam. Hal ini sesuai aturan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (Contract uit het Register der Besluiten van den Resident van Jogjakarta No. 11546/34).
Pada seperempat pertama awal abad ke-20, Desa Brosot telah sangat maju hampir sama dengan Kota Wates. Beberapa bangunan penting seperti sekolahan, pasar, tempat peribadatan, pusat transportasi, dan lain-lainnya telah berdiri di Desa Brosot.
Disebutkan bahwa di Distrik Galur pada tahun 1925 telah terdapat etnis Tionghoa sebanyak 90 jiwa terdiri dari 54 lelaki dan 36 perempuan (Gegeven over Djokjakarta 1925:140-1). Keberadaan etnis Tionghoa tersebut walaupun tidak semuanya berada di Brosot, namun dapat disebutkan bahwa di pusat Desa Brosot adalah yang paling banyak jumlahnya. Mereka menempati kios-kios di sepanjang pinggiran jalan raya dan di sekitar pasar Brosot dengan berprofesi sebagai penjual beras, pedagang kelontong, produsen mi, dan menjual bakmi. Banyak dari mereka kemudian menikah dengan perempuan Jawa di Brosot.
Beberapa nama pengusaha terkenal Tionghoa di Brosot sebelum masa revolusi adalah seperti Te Ye yang makamnya berada di 'Bong Cino' Klampok. Daerah Brosot sangat dikenal dengan 'Kampung Pecinan' sampai menjelang masa revolusi karena jumlah etnis Tionghoanya yang sangat banyak, walaupun tidak sebanyak etnis Tionghoa di Wates.12 Bekas pemakaman Tionghoa tersebut sekarang telah digunakan sebagai lapangan di Klampok.
Sumber : Desa Mawa Carita- Ahmad Athoillah, Maps Library Leiden 1933, jogjacagar.jog...
Негізгі бет PENINGGALAN SEJARAH DI DESA BROSOT - KULON PROGO - YOGYAKARTA
Пікірлер: 44